Pekan Ke- | 6 |
Judul Materi | Ma'rifatullah (Part 1): Mengagungkan-Nya, Standar Hidup Kita |
Tujuan Pembelajaran |
|
Tujuan Mentoring |
|
Alhamdulillah, pekan lalu kita sudah sama-sama mengupas tuntas mengenai "Siapa kita", "Apa tugas kita", "Gimana biar kita di seluruh waktu kita dapat full ibadah yang itu tuh salah satu tugas kita"
Nah temen-temen, menyadari status sebagai "hamba" atau "makhluk" itu bukan akhir, tapi justru sebuah gerbang pembuka. Ibaratnya kita baru sadar kalau kita ini adalah sebuah robot canggih. Konsekuensi logisnya apa? Pasti kita langsung pengen tahu: "Siapa yang menciptakan aku? Siapa engineer-nya? Apa manual book-ku? Apa tujuan aku dibuat?"
Maka, setelah kita mengenal diri, langkah selanjutnya yang wajib adalah mengenal Sang Pencipta. Inilah yang disebut Ma'rifatullah. Topik ini sangaaat luas, jadi kita akan cicil ya. Untuk hari ini, kita akan fokus pada satu hal fundamental: Konsekuensi dari status kita sebagai hamba.
1. Kepasrahan Seorang Makhluk
Kalau kita sadar betul kita ini ciptaan, logikanya kita akan sampai pada satu sikap:
berserah diri dan mengabdi
Kenapa? Karena Sang Pencipta, Allah Ta'ala, pasti jauh lebih tahu tentang kita daripada diri kita sendiri. Allah-lah yang paling tahu apa yang baik dan buruk buat kita, mana yang bikin kita "sukses" dan mana yang bikin kita "rusak".
Ibaratnya, insinyur pembuat iPhone pasti lebih tahu cara merawat iPhone daripada kita sebagai pengguna. Kalau di buku panduannya tertulis "Jangan direndam air", terus kita nekat nyeburin ke kolam renang, ya pasti rusak. Kita nggak bisa protes, "Lho kok rusak? Menurut saya harusnya iPhone tahan air dong!" Standar kita sebagai pengguna itu nggak relevan, yang relevan adalah standar dari si pembuat.
Inilah titik nol kita sebagai hamba. Kita harus meyakini bahwa standar benar dan salah, baik dan buruk, terpuji dan tercela, yang paling valid dan mutlak hanyalah standar dari Allah Ta'ala. Bukan standar "kata orang", bukan "perasaanku", bukan "logikaku", apalagi "kata influencer".
Allah berfirman:
وَعَسَىٰ أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ ۖ وَعَسَىٰ أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“...Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 216)
2. Mengagungkan Allah (Ta'zhimullah): Akar dari Ketaatan
Ketika keyakinan bahwa "standar Allah adalah yang paling benar" sudah tertanam kuat di hati, maka akan lahir sebuah perasaan yang sangat penting, yaitu pengagungan kepada Allah atau Ta'zhimullah.
Apa itu Ta'zhim?
Ta'zhim adalah meyakini kebesaran dan keagungan Allah dalam hati, yang kemudian diekspresikan melalui lisan dan perbuatan. Kita jadi merasa "kecil" di hadapan-Nya. Kita jadi segan, hormat, dan tunduk patuh pada segala aturan-Nya.
Mengapa Ta'zhim ini penting? Karena inilah akar dari segala ketaatan. Seseorang yang mengagungkan Allah tidak akan berani meremehkan perintah-Nya. Dia tidak akan bilang, "Ah, ghibah dikit doang, kan cuma ngobrol." atau "Sholat Subuh nanti aja deh, masih ngantuk." Kenapa? Karena dia tahu betul siapa yang memerintahkan dan melarangnya. Dia tahu bahwa perintah dan larangan itu datang dari Dzat Yang Maha Agung, yang menguasai langit dan bumi. Ada suatu perkataan yang bijak:
"Janganlah kamu meremehkan kecilnya dosa, tapi lihatlah besarnya Dzat yang kamu durhakai"
Allah berfirman tentang ciri orang yang tidak mengagungkan-Nya:
مَا لَكُمْ لَا تَرْجُونَ لِلَّهِ وَقَارًا
“Mengapa kamu tidak meyakini Allah itu Maha Agung?” (QS. Nuh: 13)
Menurut para ahli tafsir, ayat ini berarti, "Mengapa kalian tidak takut pada kebesaran Allah?"
Ibnu Abbas dalam Tafsir Ibnu Katsir berkata bahwa :
Ayat tersebut ("kalian tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang sebenar-benarnya") yaitu, mengapa kalian tidak takut kepada azab dan pembalasanNya
Referensi: https://tafsirweb.com/11397-surat-nuh-ayat-13.html
Rasa takut yang lahir dari pengagungan, bukan takut seperti pada hantu, tapi takut yang lahir dari cinta dan rasa hormat.
3. Keseimbangan Sempurna: Antara Takut (Khauf) dan Harap (Roja')
Rasa takut yang lahir dari pengagungan (Ta'zhim) inilah yang dalam Islam disebut Khauf. Ini bukan rasa takut yang membuat kita putus asa, melainkan rasa takut yang membangun. Khauf berfungsi sebagai rem yang menjaga kita agar tidak melanggar batas-batas Allah. Ketika kita benar-benar mengagungkan Allah, kita akan takut jika ibadah kita tidak diterima, takut jika dosa kita tidak diampuni, dan takut akan azab-Nya yang pedih. Rasa takut inilah yang membuat kita waspada dan tidak meremehkan maksiat sekecil apa pun.
Akan tetapi, seorang hamba tidak bisa hidup hanya dengan "rem". Ia butuh "mesin" untuk bergerak maju. Mesin inilah yang disebut Roja', yaitu harapan. Harapan akan luasnya rahmat Allah, harapan akan ampunan-Nya yang tak terbatas, dan harapan akan balasan surga yang dijanjikan-Nya. Roja' inilah yang membuat kita semangat beribadah, optimis dalam bertaubat setelah berbuat salah, dan tidak pernah putus asa dari pertolongan Allah.
Allah Ta'ala memuji para Nabi-Nya yang memiliki dua sifat ini secara seimbang:
إِنَّهُمْ كَانُوا يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَيَدْعُونَنَا رَغَبًا وَرَهَبًا ۖ وَكَانُوا لَنَا خَاشِعِينَ
"Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap (raghaban/roja') dan cemas (rahaban/khauf). Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu' kepada Kami." (QS. Al-Anbiya: 90)
Para ulama menggambarkan Khauf dan Raja' ini ibarat dua sayap seekor burung. Seekor burung tidak akan bisa terbang dengan seimbang jika hanya punya satu sayap. Keseimbangan ini ditegaskan dalam sebuah hadits Qudsi, di mana Allah berfirman:
أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي، وَأَنَا مَعَهُ إِذَا ذَكَرَنِي
"Aku sesuai dengan persangkaan hamba-Ku kepada-Ku, dan Aku bersamanya jika ia mengingat-Ku." (HR. Bukhari & Muslim)
Hadits ini mengajarkan kita untuk selalu berprasangka baik (husnudzon) dan berharap (Raja') pada rahmat Allah. Namun di saat yang sama, kita juga harus takut (Khauf) jika prasangka baik kita tidak diiringi dengan amal shalih dan meninggalkan maksiat.
- Hanya punya sayap Khauf: Ia akan jatuh dalam keputusasaan. Merasa diri terlalu kotor dan pendosa, sehingga berpikir, "Percuma saja beramal, dosaku sudah terlalu banyak, Allah tidak akan mengampuniku."
- Hanya punya sayap Roja': Ia akan jatuh dalam sifat meremehkan. Berpikir, "Allah kan Maha Pengampun, nanti gampang tinggal taubat," sehingga ia terus menerus berbuat dosa dengan santai.
Seorang mukmin terbang menuju Allah dengan dua sayap ini. Khauf mencegahnya dari kemaksiatan, sementara Roja' mendorongnya untuk terus dalam ketaatan. Inilah keseimbangan sempurna yang menjaga hati agar selalu berada di jalan yang lurus.
4. Buah Manis dari Pengagungan: Adab kepada Allah
Nah, ketika hati kita sudah penuh dengan pengagungan kepada Allah, maka secara otomatis akan tumbuh buahnya yang paling manis, yaitu adab dan akhlak kepada Allah.
Sikap kita kepada Allah akan berubah total. Bukan lagi sekadar rutinitas, tapi menjadi sebuah interaksi yang penuh rasa. Apa saja bentuk adab kepada Allah itu?
- Malu untuk Bermaksiat: Kita jadi malu kalau mau berbuat dosa, bahkan saat sendirian. Kita sadar betul Allah selalu melihat. Ini seperti perasaan kita kalau mau melakukan hal aneh tapi sadar CCTV lagi nyala. Bedanya, "CCTV" Allah tidak pernah mati dan tidak ada blind spot.
- Ridha dan Tidak Protes pada Takdir-Nya: Saat ditimpa musibah, hati yang mengagungkan Allah akan lebih mudah menerima. Lisannya tidak akan berkata, "Ya Allah, kenapa harus aku? Engkau tidak adil!" karena dia yakin Penciptanya tidak mungkin berbuat zalim dan pasti punya rencana terbaik.
- Bersyukur Atas Sekecil Apapun Nikmat: Kita jadi lebih peka terhadap nikmat. Bisa bernapas lega, bisa melihat, bisa berjalan, semua terasa sebagai hadiah agung dari-Nya. Tidak lagi menganggapnya sebagai hal yang "memang sudah seharusnya".
- Menjalankan Perintah-Nya dengan Semangat: Sholat bukan lagi beban, tapi jadi momen "menghadap" Sang Raja. Membaca Al-Qur'an bukan sekadar membaca, tapi seperti sedang mendengarkan surat cinta dari Dzat yang paling kita agungkan.
- Menjauhi Larangan-Nya Tanpa Tapi: Saat Allah melarang sesuatu (misal: pacaran, musik yang melalaikan, riba), kita akan sami'na wa atha'na (kami dengar dan kami taat), tanpa perlu banyak berdebat atau mencari-cari pembenaran. Karena kita percaya 100% bahwa larangan-Nya pasti demi kebaikan kita.
Jadi temen-temen, perjalanan kita mengenal Allah ini dimulai dari satu kesadaran: Dia adalah Sang Pencipta Agung, dan standar-Nya adalah satu-satunya yang benar. Dari situlah lahir pengagungan, dan dari pengagungan lahirlah adab terindah dari seorang hamba kepada Rabb-nya.
Yuk, mulai hari ini, kita coba latih hati kita untuk terus mengagungkan-Nya. Sebelum melakukan apa pun, coba tanya: "Apakah ini mengagungkan Allah? Apakah ini sesuai dengan standar-Nya?" Insyaallah, hidup kita akan lebih terarah dan penuh berkah.
Ma'rifatullah (Part 1)